Profil

Rabu, 30 Mei 2012

Rezim Komunis Mengelola Pasar Studi Kebangkitan Republik Rakyat Cina



Dingin, kaku, dan totaliter. Itulah presepsi umum yang biasanya muncul ketika membayangkan sebuah rezim yang dikontrol oleh ideologi berhaluan kiri. Sejarah Uni Soviet yang berdiri sejak 1918 dan berakhir pada 1991 memperlihatkan dengan gamblang betapa keterbatasan negara dalam menciptakan sumber-sumber penghasilan ekonomi begitu terlihat karena tak ditopang oleh kreativitas dan tidak dikontrol oleh persaingan. Di penghujung era perang dingin, terlihat jelas bahwa perekonomian Uni Soviet ketinggalan jauh dengan negara-negara kapitalis barat yang menjadi musuh bebuyutannya sebelum akhirnya gelombang keterbukaan dan reformasi menggilas habis negeri komunis itu.

Namun, persepsi kita itu agaknya berubah180 derajat, ketika menyaksikan munculnya sebuah negeri yang mengklaim sebagai penganut ideologi komunis setia, tetapi sektor swastanya terus berkembang maju dan mensejajarkannya dengan negara-negara industri modren lainnya. Negeri itu tak lain dan tak bukan adalah Republik Rakyat Cina, yang kini menjadi pusat perhatian dunia karena dinilai sebagai kekuatan superpower baru yang dalam waktu dekat akan segera menggeser posisi Amerika Serikat.
Mengapa sebuah negeri yang 30 tahun lalu masih miskin, dan kurang lebih 40 juta rakyatnya meninggal akibat musibah kelaparan itu kini bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi global yang sangat berpengaruh di panggung dunia? Berbagai gejolak yang terjadi dalam sejarah Cina menjadi pemicu untuk dibukanya keran kapitalisasi dalam berbagai sektor industri dan manufaktur di negeri itu.Beberapa reformasi yang dilakukan oleh negeri komunis itu dalam kurun waktu 30 tahun terakhir telah mengubah wujudnya saat ini, sehingga dapat tampil di panggung dunia sebagai kekuatan baru yang disegani.
Meskipun bersikap longgar terhadap kapitalisme, tetapi Cina tidak banyak berubah dalam sistem politik. Negeri itu tetap mengaku sebagai komunis, dan hal tersebut terbukti dengan berbagai kebijakan yang masih mengekang gerakan-gerakan yang dianggap berpotensi menganggu stabilitas politik dan keamanan. Kebebasan dan hak sipil di Cina masih belum terakomodir, tragedi di Tiananmen adalah contoh nyata masih tertutupnya rezim Cina terhadap demokrasi.
 Makalah ini hendak menjelaskan beberapa hal terkait dengan fenomena Cina sebagai kekuatan ekonomi dan industri baru dunia yang tentunya berkembang melalui serangkaian kebijakan ala kapitalistik. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat Cina adalah sebuah anomali yang tidak melalui fase perkembangan sejarah yang seharusnya telah diramalkan oleh Karl Marx, selaku ideolog awal komunisme.
Komunisme Klasik dalam Melihat Posisi Negara
Berangkat dari pemikiran awal tentang komunisme (Marxisme) yang dikemukakan oleh Karl Marx, suatu masyarakat akan mengalami fase demi fase perkembangan sejarah materialistik yang pada akhirnya akan mengantarkan manusia menuju era komunisme dimana, peran negara akan dihapuskan secara total, kembali seperti sediakala (state of nature).
Menurut Marx, masyarakat dalam perjalanan menuju era komunis setelah sebelumnya melalui era feodalistik agraris dan kini memasuki era kapitalisme industri. Hanya ada dua golongan yang akan selalu mengisi kehidupan dunia pra komunis, yakni golongan yang mengambil sesuatu lebih dari kadar yang menjadi haknya (borjuasi) dan golongan yang selalu diambil sebagian dari apa yang mustinya menjadi haknya (proletar). Hubungan antara borjuasi terhadap proletar bersifat eksploitatif secara struktural. Kaum borjuasi memiliki sejumlah hak privilese untuk menentukan distribusi atas surplus value yang tentunya akan cenderung memperkaya borjuasi dan memiskinkan proletar.
Marx meramalkan kondisi ini akan terus berlangsung sampai munculnya kesadaran kolektif yang dialami oleh kaum proletar. Marx mengatakan bahwa kesadaran tersebut terjadi akibat pemiskinan secara sistemik yang dilakukan telah sampai pada suatu titik yang menyentuh mekanisme pertahanan diri seseorang yang secara alamiah menuntuk hak untuk hidup (survival).  Karena itu, kaum buruh akan membentuk organisasi-organisasi serikat pekerja yang kemudian akan mengambil alih alat-alat produksi.
Negara dalam prespektif marxis-klasik dinilai sebagai selingkuhan kaum borjuasi yang selalu mengeluarkan kebijakan yang senantiasa melindungi kepentingan-kepentingan akumulasi modal kaum borjuasi. Aparat yang merupakan instrumen negara pun dianggap sebagai bagian dari kepanjangan tangan kepentingan kapitalisme dan oleh karena itu negara harus diambil alih oleh serikat pekerja demi terjadinya perubahan sosial ke arah masyarakat sosialis, dimana kesejahteraan didistribusikan secara merata.
Pemerintahan komunis yang dalam gambaran Marxisme disebut sebagai “demokratie populeire” atau demokrasi rakyat yang dijalankan melalui instrumen partai tunggal hanyalah sebuah kendaraan untuk mengkonsolidasikan upaya menuju masyarakat sosialis, dan oleh karena itu perannya akan semakin mengecil ketika mendekati tujuan akhir.
Fenomena Cina Sebuah Anomali Sejarah Materialistik
Seperti halnya Rusia yang kemudian berubah haluan menjadi komunis saat Revolusi Bolshyevik dikumandangkan, ada kesamaan kondisi yang juga dimiliki oleh Cina saat Mao Ze Dong berhasil  mempersatukan negeri itu. Kondisi itu adalah melompatnya dua negeri daratan yang luas itu dari fase feodalistik bercorak agraris langsung menuju ke era masyarakat komunis.
Artinya ada suatu fase sejarah perkembangan material yang dilewati oleh Cina dan Rusia, yakni fase kapitalisme industri. Hal ini seperti dikemukakan oleh Marx yang melalui teorinya tentang Historical Materialism menekankan perubahan sosial sebagai suatu determinisme sejarah yang bersifat “ketakterhindaran”. Artinya alur sejarah manusia yang diramalkan Marx akan sesuai dengan fase perkembangan material yang tidak mungkin dilompati.
Rusia era Romanov (pra komunis) belumlah mencapai fase negara industri seperti rekan-rekannya di barat. Karena itu ketika rezim komunis menguasai negeri itu, relatif tidak ada kesejahteraan untuk didistribusikan selain sisa-sisa harta golongan feodal kaum aristokrat serta tuan tanah penindas di daerah. Akibatnya, puluhan tahun negeri itu mengelola sumber daya alamnya yang melimpah ruah melalui BUMN tunggal untuk setiap sektor untuk menuju taraf industri maju sampai akhirnya menyadari bahwa negara yang identik dengan birokratik administratik itu tak mampu menciptakan sumber-sumber keuntungan ekonomi yang berguna bagi distribusi kesejahteraan. Sehingga masyarakat soviet merasakan puluhan tahun hidup dalam kondisi sama-rata dalam hal kemiskinan.
Kejatuhan soviet pun telah diprediksi. Rasa haus publik di negeri itu akan kebebasan dan kehidupan yang lebih baik telah mendesak dirobohkannya ideologi komunis yang selama ini mengekang mereka, tak ada demokrasi hakiki dalam “demokratie populeire,” dictatorship of majority over a minority hanyalah slogan omong kosong yang dibuat untuk menutupi kediktatoran mutlak polit biro dan justru menghilangkan hak sipil masyarakat.
Namun apa yang terjadi pada Cina? Mengingat adanya kesamaan kondisi yang melatarbelakangi sejarah rezim komunis di negeri itu dengan Rusia teman dekatnya, mengapa komunis masih bercokol di sana meski negeri itu telah bertransformasi menjadi kekuatan industri baru dunia? Yang jelas Cina merupakan sebuah anomali karena setelah mengambil jalan pintas untuk menjadi komunis ketika negeri itu dikuasai oleh para pengikut Mao dahulu, kini ia justru berada pada fase industri kapitalis yang jika dilihat dari perspektif perkembangan sejarah material, berarti mundur satu langkah ke belakang.
Kebijakan Pintu Terbuka : Reformasi Ekonomi Cina Menuju Era industri
Selama tiga dekade pertama, RRC memiliki sistem terencana yang sentralistis dalam tradisi komunis, walaupun tidak sekaku komunis Uni Soviet. Sistem itu berubah-ubah, dan seringkali berlangsung dramatis. Periode pertama, tahun 1949 sampai 1956, adalah salah satu periode rekonstruksi dan transisi. Periode kedua, yang disebut manajemen tunggal (One Man Management), berlangsung dari tahu 1956 sampai 1959 dimana periode ini merupakan replika model Soviet yang kaku, Cina mengimpor teknologi dan pemikiran asal soviet sehingga kurang mampu mengimprovisasi dirinya.
Era selanjutnya adalah apa yang dikenal dengan Great Leap Forward atau Lompatan Jauh Kedepan yang disusul dengan Revolusi Budaya (tahun 1959-1960). Era ini merupakan saat-saat paling menyengsarakan dalam sejarah RRC karena diisi dengan bencana kelaparan dan ortodoksi kebijakan ekonomi akibat konsekuensi penerapan ideologi Mao. Mao menghancurkan sistem pendidikan dan sistem perekonomian yang sebagian besar telah terkordinasi, karenanya banyak orang yang mencibir era itu sebagai Great Leap Backward (Lompatan jauh ke belakang). Meski berakhir pada 1960-an, efek dari kebijakan pada era ini terus berdampak sampai 1970-an.
Cina secara resmi memulai reformasi pada oktober 1978 setelah melewati berbagai sistem trial and error, negara itu menggeser investasi dari yang berpusat pada turisme menjadi industri elektronik, dari kebijakan yang memaksa investo asing untuk menerima mitra perusahaan Cina menjadi kebijakan yang menerima perusahaan asing secara terbuka, dan dari fase mengejar mencapai keberhasilan bersama.
Kini, hasil dari kebijakan reformasi ekonomi telah berbuah manis karena RRC menjadi kekuatan besar dunia dan kelak bukan mustahil menyalip AS yang saat ini mulai keteteran menghadapi  krisis ekonomi dan gelombang ketidakpercayaan rakyatnya atas sistem kapitalisme. Hal itu setidaknya tercermin dari berbagai indikator makro semisalh pertumbuhan ekonomi yang tak pernah kurang dari angka dua digit, Produk Domestik Bruto mencapai 4,758 miliar dollar AS (pada tahun 2009), total penduduk mencapai 2 miliar lebih, dan merupakan negara paling atraktif bagi investor asing (Survei Ernst & Young tahun 2009).
Negeri dengan sumberdaya manusia yang sangat besar ini merupakan pasar sekaligus ladang bagi bertumbuh suburnya industri manufaktur. Kondisi kelas menengah yang sangat besar dan masih dalam taraf belanja 2 - 6 dollar per hari membuat tingkat upah sangat kompetitif sehingga tak heran survei Ernst & Young tahun 2009 menempatkan RRC sebagai negara tujuan investor terbesar (33 poin) mengalahkan AS (21 poin) dan Jerman (10 poin).
Kondisi Cina hari ini, bagaikan kondisi AS pada era industri dua abad silam. Persis serupa karena industri dalam negerinya berkembang dengan memanfaatkan kelonggaran negara dalam menetapkan kepastian hukum atas hak cipta dan kekayaan intelektual. Pelanggaran HAKI di negeri yang secara harfiah berarti “Kerajaan Tengah” itu terus berlangsung hingga kini, namun itulah yang terjadi dulu saat AS masih merangkak menapaki era industri. Dan kelak seperti halnya AS sekarang, bukan mustahil Cina pun akan maju mengembangkan teknologinya sendiri setelah berhasil melakukan tahap improvisasi dalam “proses transfer teknologi” industrinya.
KESIMPULAN
Dalam perspektif barat, kesejahteraan itu bersifat linier dengan penerapan demokrasi. Semakin demokratis suatu negara, maka kesempatan untuk mendistribusikan kesejahteraan menjadi lebih terbuka. Sehingga, dalam perspektif ini, kesejahteraan dalam bidang ekonomi mustahil terwujud apabila rezim yang berkuasa masih tertutup, autokratif, apalagi komunis.
 Akan tetapi hal ini secara gamblang tidak terjadi pada Republik Rakyat Cina (Cina daratan - untuk membedakannya dengan Republik Cina, Taiwan). RRC merupakan sebuah anomali yang tak bisa dijelaskan, bahkan dengan perspektif Marxisme klasik sekalipun. Suatu fase perkembangan sejarah material telah “dilompati” dan setelahnya rezim yang berkuasa di Cina “kembali ke belakang” dengan mereformasi kebijakan ekonominya sehingga kini mampu bersaing dengan kekuatan industri maju lainnya.
Hal ini membuktikan kebijakan ekonomi dalam suatu negeri tidak harus terkait dengan sistem politik yang dianutnya. Sehingga, implikasi dari kesimpulan tersebut mengharuskan kita (mau tidak mau) menerima bahwa rezim dengan pelanggaran hak sipil seperti Cina dan negara-negara lainnya yang serupa, mungkin saja maju dalam pencapaian ekonominya sehingga distribusi kesejahteraan tercapai.
Terlepas dari beberapa catatan yang melihat fenomena Cina dari perspektif yang berpendapat bahwa pemerintah RRC melalui kebijakan ekonominya telah meng-alienasi kaum marjinal yang miskin tenagh merupakan kelompok miskin (yang berarti bertentangan dengan ideologi politiknya), setidaknya melalui indikator makro, Cina mampu membuktikan kepada dunia bahwa mreka siap menggeser barat dalam pentas percaturan ekonomi-politik global.



Daftar Pustaka
SUMBER REFERENSI
·           Prof. Mr. Koentjoro Poerbopranoto Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, 1978.
·           Oded Shenkar, The Chinese Century: bangkitnya Raksasa China dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Global, PT BIP, 2007.
·           Societats Verlag, Fakta Mengenai Jerman, 2010.
·           Wikipedia: Republik Rakyat Cina, Lompatan Jauh Kedepan, Partai Komunis Cina, Kebijakan Pintu Terbuka, Sejarah Materialisme, Uni Soviet.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar